Sabtu, 30 September 2017

Kikisan Akhir, Kepada Rindu yang Hilang.

Kepadamu yang tertulis dalam bait rindu,
Bagaimana kabarmu?
Akankah ada jeda satu detik bagi rasamu untuk rindu padaku?
Tentang perasaan yang pernah menggebu,
Yang tercipta antara aku dan hanya aku,
Setelah hari itu,
Kita tak lagi bermain dengan canda,
Aku tertinggal dengan rasaku,
Dan kamu pergi tanpa banyak pesan.
Aku terkikis,
Kita terabaikan,
Kertas-kertas puisi yang ku tulis untukmu,
Sudah hangus ditelan api masa lalu.
Kini,
Memori sudah tidak lagi bergulat lemah,
Tapi hati masih bertekuk jatuh,
Lunglai bekas jejak rindu.
Kepada kamu yang pernah ku tulis di lembaran puisi kehidupan,
Semoga kabarmu baik,
Karena aku yang menulismu disini,
Masih memiliki rasa yang sama,
Meski kini,
Tak kembali bertautan dengan tanya.  



Rabu, 19 Juli 2017

RINDU.


Sudah lama rasanya,
Semenjak kau dan aku tak lagi saling menyapa,
Aku fikir,
Duniaku akan kelat,
Hampa tanpa hadirmu,

Nyatanya,
Sama.

Ya, tanpa warna,
Tanpa isi,
Tanpa guratan-guratan gulandah tentang seseorang,

Tulisanku pun sepi,
Aku tersadar,
Bahwa kau sudah menjadi bagian dari segala inspirasi terbesar,
Jemari-jemariku masih mencoba melukiskan kembali tentang kita,

Aku tak lagi bertanya,
Kenapa tentangmu masih sesekali singgah dalam fikiran dan celah-celah ruang dalam tulisan,
Kau ku biarkan menjadi ‘nyawa’ dalam tulisanku,
Hingga siapapun yang mengerti tulisanku,
Mereka yakin, kau adalah pelakunya,

Ku lihat senja di ufuk beberapa minggu lalu,
Kali ini sudah tak berbagi senja aku dan kau,
Aku yakin,
Sesekali kita berada di nyawa yang sama,
Tapi kau dan aku tidak saling menemukan,

Aku si pecundang ini selalu kalah dalam ronde diacuhkan,
Padahal bukan itu maksudmu,
Kau dengan duniamu,
Yang sampai kapanpun tidak dapat bisa aku berada ditengahnya,

Sesekali aku ingin enyah saja dalam hal seperti ini,
Kembali mengingatmu membuatku sesak,
Tapi setiap aku kembali dalam situasi buruk,
Anganmu selalu mengambil peran,
Kau tiba-tiba tersenyum ranum memasuki area dalam mimpi,

Entah apa maksudmu,
Bahkan sakit pun sudah kebal aku,
Mencintaimu meninggalkan bekas,
Dan aku tidak bisa menghilangkan bekas itu,

Kau tahu,
Setiap orang yang kita izinkan masuk dalam hidup kita,
Akan meninggalkan porsi ceritanya masing-masing,
Dan aku rasa aku menyediakan porsi lebih untukmu,
Kau terlalu ku bebaskan leluasa menguasai fikiran dan tulisan-tulisanku,

Bukan pula salahku,
Kau tahu tentang itu,
Kau tak lagi anak-anak dalam hal asmara-asmaraan,
Ketika seseorang telah menyediakanmu ruang,
Kau harusnya masuk!

Kau terlalu naif!,
Kau terlalu banyak bertanya,
Sampai kau lupa bahwa hati manusia juga bisa terkunci meski tanpa izin,
Dan kau sampai kini tidak kunjung tersadar,


Kau si muka tembok..



Aku (kembali) mencintaimu!

Jumat, 31 Maret 2017

Kamu, Hirupan Kopi (Kita).

Seduhan kopi ku teguk,
Ku tatap sekitarku,
Aku tertegun,
Bermenung melihat kursi dihadapanku,
Kursi yang biasa kau singgahi untuk memulai harapan lagi,


Dan nostalgia membuatku terjebak,
Ke masa dimana kau berjanji semua akan baik-baik saja,
Bahwasanya akan selalu ada perbincangan yang semakin hangat,


Dan aku percaya..


Tapi sepertinya,
Kepercayaanku membuatku jatuh ke lubang yang ku buka sendiri,
Kembali pecah hatiku karena harapan,


Tentu masih ingat aku,
Bagaimana senyummu yang merengkuh luas di pelipis bibirmu itu,


Pahamnya kau,
Tiap aku menjauh,
Kau yang melangkah satu kali lebih dekat,


Rindu ku belum jinak ternyata,
Masih meruap ria dia karena rindu,
Masih mencari obatnya,
Semoga saja bisa membaik,


Dan aku pernah berfikir bahwa obat itu adalah rumah baru,
Untuk harapan yang baru,
Tapi kenangan membawaku kemari,
Ke tempat dimana kau dan aku melukis kenangan,


Dan lagi..
Aku kembali harus mengalah dengan masa lalu,
Lelah rasanya,
Bermain dengan logika yang selalu berhantaman dengan hati,


Logikaku selalu egois,
Dan hatiku posesif pula,


Tak jua keduanya mengerti,
Bahwa kau dan aku bukanlah tercipta untuk abadi,
Tapi hanya saling kenal,
Lalu kemudian saling melupakan.


Dan kemudian,
Aku tersadar,
Bahwa bukan doa yang salah,
Bukan juga takdir tuhan yang salah,
Tapi waktu yang salah,
Aku sudah memintanya untuk berhenti mencintaimu,
Tapi hirupan kopi ini membentur memori ku untuk kembali mengingatmu,


Tembok keras yang ku bangun seupaya raga,
Bukannya malah menguat,
Tapi justru pondasinya melemah,


Tuhan.. Aku lemah karena rindu..

Kemarilah,
Coba datang sebentar,
Ke tempat dimana aku menulis bait rindu ini,
Kursi dihadapanku masih kosong,
Ini tempatmu, bukan?


Maka kemarilah,
Ku bacakan nurani puitis perihal rindu,
Semoga sampai kedua tanganku menggapaimu,


Jika kelak hatimu rindu,
Jangan sakit dulu,
Ingatlah bahwa aku sudah menikmati durinya terlebih dahulu,
Dan kau tau?

Sakitnya abadi.

Jika kelak cintamu berlabuh ke pundak yang tak kunjung berbalas,
Jangan beralih kemudi,
Ingatlah bahwa aku sudah pernah beralih kemudi,
Tapi tetap tenda layarku mengembalikanku ke tempat pemberhentian yang sama,
Kau.


Sekiranya ada kata yang lebih abadi,
Pasti sudah ku tulis terlebih dahulu,
Tapi lemah sudah jemariku melukis angan tentangmu,
Pondasi ini butuh istirahat,


Dan kembali,
Aku harus berbaikan dengan hati dan logika,
Agar mereka tak mengembalikanku tentang dirimu,
Lalu aku bisa menikmati kopi,
Tanpa kembali mengingat rasa rengkuhan jemarimu.

Jumat, 24 Februari 2017

Sendu, Rindu.

Perihal rindu yang sifatnya kekal,
Selalu ada harapan dibaliknya,

Bebaslah kau menganggap apa tentang rindu ini,
Tanpa aku ingin ketahui,

Mengejarmu tanpa batas,
Bahligai cakrawala tanpa bintang,

Hampa,
Tak apa menikmati desirnya pedih seorang diri,
Sudah terbiasa rasanya,
Menikmati tepukan cinta yang tidak diacuhkan,

Labirin hatiku sudah tebal,
Diisi dengan pesan-pesan rindu yang tak kunjung kau balas,
Masih tenang jiwaku menunggu rasanya,
Entah bagaimana ia tetap tegar melawan kau di tengah perjuangan,

Firasat demi firasat,
Ku coba melawan lagi,
Pertarungan yang tak kunjung ku dapati akhir,

Kedatanganmu selalu sederhana,
Dengan secercah senyuman hangat,
Masih jelas teringiang suara tawamu,
Ditemani dengan kopi hangat dan dingin,
Di tengah suasana hiruk pikuk keramaian dengan mesin pendingin ruangan,
Tapi kau masih dapat menemukan kedua bola mataku,
Dan aku selalu menemukan rasa pandanganmu disepanjang kau menatap,

Sungguh,
Angkasa sudah terlalu baik,
Menjaga rasa ini,


Dia masih saja utuh pada manusia yang sampai sekarang harapannya masih abu,
Meski menggapaimu masih didalam mimpi tidur ku,
Ku harap sosokmu yang sesekali masih ku lihat di dunia nyata,
Masih bisa ku rasa hangatnya,
Bagaikan senyum yang kau kirim,
Di awal pertemuan kita.

Kamis, 23 Februari 2017

Perihal 'angan' dan 'kita'

Sudah ku rapikan masa lalu ku,
Sudah pula ku tenggelamkan masa gelap ku,

Tapi kau tetap memilih duduk,
Bersamanya yang sudah bersiap-siap jauh lamanya,
Sebelum aku yang terlambat maju,

Langkahku yang hanya bisa menggapaimu secara diam-diam,
Menyentuhmu di setiap bait-bait doa malam,
Berharap kelak jika hatimu terbuka,
Aku yang ada sedang duduk di tempat pengantrian paling terakhir,
Dapat masuk di urutan pertama,

Ilusi,
Ya, sudah ku sadari,
Jauh sebelum aku memutuskan untuk mengenalmu lebih jauh,

Sakit,
Tenanglah, sudah ku siapkan,
Jauh sebelum kau membalas pesan perkenalan hari pertama,

Sudah,
Sudah ku terima segala tamparan yang kau beri,
Sudah ku biasakan hatiku tanpa memandang matamu lagi,
Sudah pula ku jinakkan rindu ku yang terlalu menggebu mengenang saat berjumpa dulu,

Meski akhirnya,
Aku yang terbanting jauh terluka harus mengakui hal yang bahkan belum berani ku coba,

Kenapa, kau?

Kenapa takdir menulis kita hanya sebatas saling kenal?

Atau, sebatas aku yang mengagumi mu dari jauh?

Salahku yang terlalu perasa,

Menganggap bahwa ‘kita’ akan segera ada,

Menganggap bahwa pesanmu adalah bagian dari rasamu,

Menganggap bahwa ada yang tersimpan darimu tentangku,

Tapi ironinya,
‘kita’ tidak akan pernah ada,
Pesanmu hanya bagian dari rasa hormatmu,
Ya, ada yang tersimpan darimu tentangku,

Aku hanya sebatas pemain figuran yang menumpang lewat sebentar,
Singgah ke permainan teater cinta antara kau dan si sempurna,

Puaskah kau bertemu dengan sang sempurna?

Sudah tentramkah jiwamu menghabiskan masa terindah dengannya?

Sudah terlukiskah oleh mu kelak bagaimana jiwa senjamu dengannya?

Ku harap jawabannya, ya, sudah,
Ku harap takkan pernah ku dengar jawaban ‘belum’ mu,
Karena hatiku pasti mengambil peran lagi,
Ia pasti ingin kembali mengantri,

Jadi, jangan,
Bagiku telah cukup apa yang terjadi di antara kita,
Dayaku sudah belajar sanggup menerima apa yang seharusnya memang ku terima,

Ku kembalikan ‘angan’,
Ku putar senja,
Ku biarkan angin membius segala fikiranku tentangmu,
Sekalipun sudah tertusuk duri upayaku melupakanmu,
Biarlah ku nikmati tentang kita,
Hanya dalam rengkuhan mimpi panjang,

Berubahku untukmu,
Diamku agar kau mengerti,
Sudah tak bisa lagi ku genggam kau jika kau inginnya terlepas,
Sudah hilang rasa juangku jika kau tetap ingin bersamanya,

Berbahagialah, sang inspirasi kata-ku,
Dua bola mata akan selalu mengarah padamu,
Dua pundak masih tersedia untuk menopang keluh kesahmu,
Satu hati yang masih selalu tersimpan namamu,
Dan dua jantung yang masih selalu berdebar sangat kencang,
Mengingatmu di berbagai suasana,

Semoga istana kecil yang ku bangun bernuansa doa turut kebahagiaanmu,
Dapat membawamu ke bahagia yang memang sang pemberi bahagia inginkan,
Bukan aku lagi yang berjuang,
Sudah sampai dayaku mencintaimu,

Ke akhir masa dimana kita bertemu,

Ku tulis bagian terakhir kepedihan,

Selamat tinggal ‘kita’.

Selasa, 14 Februari 2017

Babak Perjuangan

Kedua kalinya,
“menyerahlah, atau kau akan semakin terluka nantinya”,
Kalimat yang sama,
Kesulitan yang sama,

Masih ada namamu yang membekas,
Bekasnya masih terasa pahit,
Sangat pahit.

Jika jujur adalah lambang dari sebuah jawaban,
Maka mengapa jawaban yang ku selipkan selalu membawaku larut dalam kepedihan?
Mengapa ‘jujur’ yang mereka katakan selalu membawaku jatuh bahkan sangat dalam?

Nama yang sama,
Yang dulunya merekah manis dalam kalbu,
Kini tumbuh semakin layu.
Aku tidak pernah menyalahkan kepergianmu,
Pesan-pesan singkatmu yang dulunya mampir sesekali,
Kini memang sudah hilang,
Takkan ada perbincangan lagi,
Sampai malam enggan beranjak pagi,
Sampai malam terasa hangat ditemani pesan-pesan candamu.

Tidak lagi kurasa hangatnya hari merengkuh,
Sudah tidak ada lagi rasa khawatir signal ponsel meredup ketika mendung mulai menghampiri,
Khawatir pesan-pesan kecilmu terganggu untuk masuk ke ponselku.

Yang tak kau ketahui dan tak akan pernah kau ketahui,
Ponselku masih sama,
Nomor tujuan yang sama,

Namun,

Segala tentangmu sudah ku jadikan prasasti kenangan lama,
Yang sebentar lagi akan ku bangun museum untuk pesan-pesan lamamu.

Setidaknya,
Aku bisa merehatkan fikiranku yang kacau atasmu,
Aku bisa merenggut kebahagianku yang selalu tertunda sejak hadirmu.

Luar biasa, bukan?
Seseorang yang bukan menganggapmu siapa-siapa malah menjadi duniamu,
Ia bisa menjadi jawaban dari segala keresahan,
Ia membawa perjalanan pahit yang belum pernah dirasakan olehnya.

Perihal cinta yang kau bawa awalnya bahagia,
Kini menjadi pahit dan bernanah,
Entah kapan tulisan-tulisan ini membawamu ke rasa,
Untuk mengakhiri segala tanda tanya,
Segala otak yang membuntu,
Karena jawabanku yang semakin rancu.

Keajaiban memang tidak datang dengan sendirinya,
Jika tidak diperjuangkan menjadi nyata,
Maka semua hasil yang di harapkan nyata bisa saja menjadi mitos.

Tapi,

Akankah semua perjuangan membawa hasil yang bahagia?

Entahlah,
Entah dayaku yang masih belum cukup untuk menggapaimu,
Atau diriku yang masih belum banyak memahami apa yang kau mau.


Esok, lusa atau kemarau mendatang,
Aku masih menanti hari dimana hatiku terbebas dari angan tentangmu,
Dan jika kelak hari itu datang,
Ku harap hujan tak lagi membawaku pada memori pahit tentangku dan tentangmu,
Yang pernah menulis setapak sejarah kehidupan,
Bahwa bersama tak harus memiliki,
Dan rasa tulus tak harus membawa akhir yang mengesankan.

Minggu, 12 Februari 2017

Kepadanya, curahan kedua.

Jika aku diberi pertanyaan,
Tentang bagaimana diriku memandangmu,
Aku memilih untuk diam,
Dan pergi beranjak dari realita,
Aku bisa saja memaksakan kehendak,
Untuk menjelaskan bagaimana dirimu lewat pandanganku,
Tapi percuma saja,
Jika semua yang ku lihat hanyalah bayangan abu,
Percuma,
Aku menjelaskan beribu kata dengan tujuan agar kau fahami,
Maksud dan tujuanku yang merengkuhmu dalam bait-bait senja,
Dayaku yang hanya sampai untuk mencintaimu secara diam-diam,
Tiada yang suka di posisiku,
Tiada yang sudi berada di posisi yang sama denganku,
Tapi kau juga harus tahu,
Kelak jika ada pilihan yang lain,
Aku akan memilih untuk memutar waktu,
Kembali ke tempat dimana aku dan kau tidak saling kenal,
Kau dengan duniamu,
Dan aku dengan duniaku,
Tapi ternyata takdir membawaku ke jalan yang salah,
Aku hampir saja menabrak dinding batas,
Sampai aku sadar batas kadarku sebagai pengagum rahasia,
Beruntung kah aku?
Beruntung kah aku tidak melewati batas itu?
Ketika hatiku berkata aku harus tetap berjalan,
Melewati arus waktu,
Aku justru berhenti di titik paling jauh,
Di waktu sebelum-sebelumnya,
Bodoh kah aku?
Bodoh kah jika boneka ini mengharapkan jabatan hatiku kau balas?
Atau,
Jika jawabanmu tetap tidak,
Tolong izinkan aku berlari sekencang-kencangnya,
Bukan untuk keluar dari realita,
Tapi aku ingin kembali menemukan cermin diriku,
Aku ingin pemahamanku tentangmu kembali ke titik nol,
Atau boleh kah aku meminta pada bintang jatuh,
Jika kelak hatiku jatuh kembali,
Aku berharap untuk tidak mengenal hatimu,
Aku berharap tidak ada lagi pesan singkatmu,
Dan aku berharap agar memori manis yang ku idamkan di setiap mimpiku,
Terkubur hancur ditelan sang masa,
Aku ingin sekali menjadi sang bintang,
Ia tetap bersinar di tengah gelapnya malam,
Lalu,
Berlaku kah sinar bintang itu padaku?
Jika kelak masih berlaku,
Aku akan kembali meminta permohonan,
Untuk membiarkan duniaku yang suram,
Tetaplah suram,
Tak apa,
Sungguh tak apa,
Setidaknya tanpa belajar memaknai teka-tekimu,
Aku bisa mengenal hatiku,
Untuk dapat menjauhimu,
Lebih dalam lagi.