Rabu, 19 Juli 2017

RINDU.


Sudah lama rasanya,
Semenjak kau dan aku tak lagi saling menyapa,
Aku fikir,
Duniaku akan kelat,
Hampa tanpa hadirmu,

Nyatanya,
Sama.

Ya, tanpa warna,
Tanpa isi,
Tanpa guratan-guratan gulandah tentang seseorang,

Tulisanku pun sepi,
Aku tersadar,
Bahwa kau sudah menjadi bagian dari segala inspirasi terbesar,
Jemari-jemariku masih mencoba melukiskan kembali tentang kita,

Aku tak lagi bertanya,
Kenapa tentangmu masih sesekali singgah dalam fikiran dan celah-celah ruang dalam tulisan,
Kau ku biarkan menjadi ‘nyawa’ dalam tulisanku,
Hingga siapapun yang mengerti tulisanku,
Mereka yakin, kau adalah pelakunya,

Ku lihat senja di ufuk beberapa minggu lalu,
Kali ini sudah tak berbagi senja aku dan kau,
Aku yakin,
Sesekali kita berada di nyawa yang sama,
Tapi kau dan aku tidak saling menemukan,

Aku si pecundang ini selalu kalah dalam ronde diacuhkan,
Padahal bukan itu maksudmu,
Kau dengan duniamu,
Yang sampai kapanpun tidak dapat bisa aku berada ditengahnya,

Sesekali aku ingin enyah saja dalam hal seperti ini,
Kembali mengingatmu membuatku sesak,
Tapi setiap aku kembali dalam situasi buruk,
Anganmu selalu mengambil peran,
Kau tiba-tiba tersenyum ranum memasuki area dalam mimpi,

Entah apa maksudmu,
Bahkan sakit pun sudah kebal aku,
Mencintaimu meninggalkan bekas,
Dan aku tidak bisa menghilangkan bekas itu,

Kau tahu,
Setiap orang yang kita izinkan masuk dalam hidup kita,
Akan meninggalkan porsi ceritanya masing-masing,
Dan aku rasa aku menyediakan porsi lebih untukmu,
Kau terlalu ku bebaskan leluasa menguasai fikiran dan tulisan-tulisanku,

Bukan pula salahku,
Kau tahu tentang itu,
Kau tak lagi anak-anak dalam hal asmara-asmaraan,
Ketika seseorang telah menyediakanmu ruang,
Kau harusnya masuk!

Kau terlalu naif!,
Kau terlalu banyak bertanya,
Sampai kau lupa bahwa hati manusia juga bisa terkunci meski tanpa izin,
Dan kau sampai kini tidak kunjung tersadar,


Kau si muka tembok..



Aku (kembali) mencintaimu!