Jumat, 31 Maret 2017

Kamu, Hirupan Kopi (Kita).

Seduhan kopi ku teguk,
Ku tatap sekitarku,
Aku tertegun,
Bermenung melihat kursi dihadapanku,
Kursi yang biasa kau singgahi untuk memulai harapan lagi,


Dan nostalgia membuatku terjebak,
Ke masa dimana kau berjanji semua akan baik-baik saja,
Bahwasanya akan selalu ada perbincangan yang semakin hangat,


Dan aku percaya..


Tapi sepertinya,
Kepercayaanku membuatku jatuh ke lubang yang ku buka sendiri,
Kembali pecah hatiku karena harapan,


Tentu masih ingat aku,
Bagaimana senyummu yang merengkuh luas di pelipis bibirmu itu,


Pahamnya kau,
Tiap aku menjauh,
Kau yang melangkah satu kali lebih dekat,


Rindu ku belum jinak ternyata,
Masih meruap ria dia karena rindu,
Masih mencari obatnya,
Semoga saja bisa membaik,


Dan aku pernah berfikir bahwa obat itu adalah rumah baru,
Untuk harapan yang baru,
Tapi kenangan membawaku kemari,
Ke tempat dimana kau dan aku melukis kenangan,


Dan lagi..
Aku kembali harus mengalah dengan masa lalu,
Lelah rasanya,
Bermain dengan logika yang selalu berhantaman dengan hati,


Logikaku selalu egois,
Dan hatiku posesif pula,


Tak jua keduanya mengerti,
Bahwa kau dan aku bukanlah tercipta untuk abadi,
Tapi hanya saling kenal,
Lalu kemudian saling melupakan.


Dan kemudian,
Aku tersadar,
Bahwa bukan doa yang salah,
Bukan juga takdir tuhan yang salah,
Tapi waktu yang salah,
Aku sudah memintanya untuk berhenti mencintaimu,
Tapi hirupan kopi ini membentur memori ku untuk kembali mengingatmu,


Tembok keras yang ku bangun seupaya raga,
Bukannya malah menguat,
Tapi justru pondasinya melemah,


Tuhan.. Aku lemah karena rindu..

Kemarilah,
Coba datang sebentar,
Ke tempat dimana aku menulis bait rindu ini,
Kursi dihadapanku masih kosong,
Ini tempatmu, bukan?


Maka kemarilah,
Ku bacakan nurani puitis perihal rindu,
Semoga sampai kedua tanganku menggapaimu,


Jika kelak hatimu rindu,
Jangan sakit dulu,
Ingatlah bahwa aku sudah menikmati durinya terlebih dahulu,
Dan kau tau?

Sakitnya abadi.

Jika kelak cintamu berlabuh ke pundak yang tak kunjung berbalas,
Jangan beralih kemudi,
Ingatlah bahwa aku sudah pernah beralih kemudi,
Tapi tetap tenda layarku mengembalikanku ke tempat pemberhentian yang sama,
Kau.


Sekiranya ada kata yang lebih abadi,
Pasti sudah ku tulis terlebih dahulu,
Tapi lemah sudah jemariku melukis angan tentangmu,
Pondasi ini butuh istirahat,


Dan kembali,
Aku harus berbaikan dengan hati dan logika,
Agar mereka tak mengembalikanku tentang dirimu,
Lalu aku bisa menikmati kopi,
Tanpa kembali mengingat rasa rengkuhan jemarimu.